Dari Petani untuk Calon Jurnalis
Dari Kadun, 24 Juni 2015
Kesadaran bahwa pendidikan begitu penting
bagi anak-anaknya dan kewajiban menuntut ilmu menjadi penyemangat bagi Kadun
untuk memperjuangkan keinginan anaknya menjadi calon jurnalis. Tak mengenal apa
pekerjaan yang ia lakoni dan tak perduli berapa besar biaya yang dikeluarkan
untuk membiayai sekolah anaknya.
Sejak tahun 2010, anaknya mulai duduk dibangku
perkuliahan. Bermodalkan hasil sawah yang didapatkannya ketika musim panen
lalu, ia mampu memasok kebutuhan biaya yang harus dibayarnya. Mulai dari
pembayaran DPP jurusan Komunikasi yang agak mahal, semua pembayaran dikampus
hingga pembayaran uang kos.
Kadun adalah seorang petani di sebuah desa
yang terletak di kecamatan Pandaan, kabupaten Pasuruan. Umurnya yang sudah
setengah abad tak mengahalangi niat baik anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak
pernah bosan menjalankan rutinitas yang sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai
berangkat kesawah sebelum matahari terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur
dan kembali lagi kesawah sampai sebelum matahari tenggelam.
"Begitulah rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke sawah
melainkan ke kantor. Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Petani seperti
saya juga ke kantor, yakni sawah,” ucapnya dengan sedikit tawa.
Bapak beranak tiga ini tak ingin nasib
anaknya berakhir seperti dirinya yang harus putus sekolah sejak Sekolah Dasar
lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir dari keluarga miskin pasangan
petani Syukur (alm) dan Warsini (alm). Semua pekerjaan ia lakoni untuk menutupi
biaya hidupnya. Mulai menjadi petani, tukang panggul gabah hingga menjadi
makelar gabah di desanya.
Jika petani lain akan kaya dengan hasil
panennya ketika waktu panen tiba, tidak dengan petani yang satu ini. Pekerjaan
yang dilakoninya sebagai makelar gabah di desanya menuntutnya untuk berhutang
demi menutupi pembayaran gabah yang dijual kepadanya. Dia harus mengangkut gabah
yang dijual kepadanya, satu-persatu karung gabah diangkutnya ke gudang dengan
motor Suzuki yang sudah tua. Karung demi karung diangkatnya ke atas timbangan
untuk ditimbang. Kemudian ditatanya dengan rapi tumpukan gabah itu didalam
gudang menunggu giliran untuk dijemur dan menunggu waktu yang tepat untuk
dijual agar mendapatkan keuntungan yang sepadan. Akan tetapi, tak jarang juga
ia mengalami kerugian jika sewaktu-waktu harga gabah atau kedelai turun.
Baginya, tak gampang menjadi seorang
petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil panen bisa mencukupi semua
kebutuhan hidup. Meskipun hasil panen jika dihitung kelihat banyak, tetapi
sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding dengan modal yang
digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.
Arti Penting Pendidikan
Meskipun ia hanya seorang petani, tetapi
dia begitu mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Ia paham
bahwa perkembangan dunia tidak dapat dipungkiri akan bertambah maju. Jika
anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan, maka akan jauh tertinggal dibelakang.
Ini semua dilakukannya lantaran memang sudah kewajibannya sebagai orang tua
untuk menyekolahkan anaknya.
Kalau orang di desanya memilih untuk
mencukupkan pendidikan anaknya sampai bangku sekolah menengah keatas, tidak
dengan Cak Kat, sapaan akrabnya. Cak Kat begitu miris melihat realitas apa yang
terjadi didesanya. Padahal menurutnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, mereka
lebih mampu bahkan berlebih jika mau menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan
tinggi.
Sedikit bercerita tentang keadaan
kampungnya, cak kat mengatakan bahwa dari ratusan anak muda di desa, bisa
diitung dengan jari yang mau meneruskan pendidikannya dan tau arti pentingnya
pendidikan. Sebagian dari orang tua masih belum mengerti akan pentingnya
menuntut ilmu, begitu juga dengan anak-anaknya. Yang terlintas dipikiran
masyarakat hanya bagaimana mendapatkan kerja bermodalkan ijazah SMA.
Bahkan masyarakat sudah pesimis terlebih
dahulu tidak akan mampu menyelesaikan administrasi pembayaran selama sekolah. “Padahal,
kalau mereka niat dan mau pasti akan dipermudah jalannya oleh Allah, rezeki itu
sudah ada yang mengatur, apalagi buat pendidikan ada saja rezeki yang datang
ketika tiba waktu pembayaran” ujarnya dengan yakin.
Cak Kat begitu bersyukur anak-anaknya
mengerti akan pentingnya pendidikan. Ia hanya perlu mendukung dan mendoakan.
Sosok yang begitu ramah ini tak ingin apa yang ia alami dialami pula oleh
anaknya. Ia berusaha sekuat tenaga bahkan rela mengorbankan apapun demi anaknya.
Satu hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana mencari rezeki yang barokah
untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Tak peduli bagaimana keadaan tembok rumah
yang mulai mengelupas, tak peduli atap rumah yang mulai bocor dan tak peduli
betapa tuanya motor yang menemani aktivitasnya sehari-hari. Baginya kalau semua
masih bisa digunakan, ia tidak akan mengganti dengan yang baru.
Menurutnya, menuntut ilmu sampai
setinggi-tingginya itu penting. Orang yang berilmu dan dapat bermanfaat bagi
masyarakat akan mempunyai derajat tersendiri. Tak mau kalah dengan
anak-anaknya, ia juga menuntut ilmu dengan caranya sendiri. Suami dari Nasi’ah ini secara
rutin membaca tafsiran ayat demi ayat yang terdapat di Al Quran untuk
mendamaiakan hati dan pikirannya. Dengan begitu, berarti ia sudah menambahkan
sedikit ilmu ke memory yang dipunyainya untuk diamalkan suatu saat nanti ketika
dibutuhkan.
Pandangannya Tentang Jurnalis
Kadun sebagai sosok ayah sekaligus kepala
keluarga tak memaksakan anaknya untuk mengikuti kehendaknya dalam menentukan
masa depan. Ia percayakah semua masa depan kepada anaknya masing-masing. Karena
menurutnya, yang akan menjalani kehidupan itu anaknya bukan dirinya, ia hanya
perlu mengarahkan serta mendoakan apa yang dilakukan anaknya untuk meraih masa depan
yang diinginkan.
Termasuk pilihan yang dijalankan putri
kedua-nya yang memilih untuk menggeluti dunia jurnalistik. Sebenarnya cak kat
kurang setuju dengan pilihan anaknya, akan tetapi ia sadar bahwa bidang itu
yang diminati putri semata wayangnya. Baginya menjadi seorang jurnalis itu
cukup berat, seorang jurnalis harus lari kesana kemari mengejar narasumber
untuk mendapatkan informasi. Seorang jurnalis harus dituntut untuk hidup
dibawah tekanan garis kematian. Seorang jurnalis tentu bakal menghabiskan
waktunya untuk terjun di lapangan dengan resiko kematian yang mengancam
kapanpun, apalagi kalau misalkan nantinya akan ditugaskan di daerah konflik.
"Sebenarnya saya lebih setuju kelak anak saya menjadi seorang guru
lantaran ia seorang perempuan," ucap pria ramah ini.
Namun, ia sadar tak mungkin ia memaksakan
kehendaknya. Ia begitu menyayangi putra-putrinya dengan caranya sendiri. Sosok
ayah satu ini membiarkan anaknya untuk menempuh jalan kesuksesannya
masing-masing. Entah apa yang bakal dilakukan anaknya, asalkan itu pekerjaan
yang halal dengan sepenuh hati orang tua akan mendukung dan senantiasa
mendoakan.
"Kita tak akan tau apa yang akan terjadi dimasa depan, yang
terpenting sekarang kita berusaha dan berdoa. Semua sudah ada yang menentukan," lontar cak
Kad dengan yakin dan mantap.
Mengakhiri ceritanya, sebagai orang tua ia
berharap dimanapun putra – putrinya berada, kelak anak-anaknya mampu mengamalkan ilmu yang
diperolehnya saat ini untuk turut memajukan bangsa dan Negara. Ia berharap
kelak anaknya akan bermanfaat bagi masyarakat. Sebab ia percaya bahwa sebaik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.